Loading...
Tuesday 6 June 2017

20:14
ragil mas putri
Sebagai seorang muslim, sudah semestinya kita menegakkan syari’at agama terutama bagi muslimah mengenai hijab ( konsentrasi kerudung dan jilbab ). Sudah jelas diterangkan dalam Al-Qur’an juga Al-Hadits bahwasannya hijab itu wajib. Salah satunya Q.S. Al Ahzab ayat 59 berikut ini:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٥٩

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga) orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka. Hal itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Ahzab ayat: 59)

 Namun bagaimana dengan implementasinya di zaman yang sudah berkembang pemikiran dan ilmunya seperti sekarang ini? Nah, saya akan memaparkan pendapat saya.
Sekarang ini sudah banyak model hijab yang mengaku syar’i padahal malah salah kaprah. Mereka menuntut modernisasi dan mensiasati agar kaum muda dan dunia menerima hijab sebagai bagian dari fashion sehingga dunia terbuka dengan syari’at yang satu ini. Padahal bukan seperti itu hijab seharusnya, disini bisa kita analisa kemungkinan ada dua hal yaitu mereka tidak paham apa itu hijab atau mereka mengingari hakekat hijab sebenarnya. Namun, usaha dakwah para fashionista tersebut sangat bagus dan patut diapresiasikan karena berusaha membuat dunia menerima hijab, bukankan amalan seseorang itu tergantung niat? ( fenomena pertama ).

Namun disisi lain makin menjamur pondok-pondok yang mewajibkan santriwatinya mengenakan hijab yang syar’i yang jilbabnya menjuntai hingga ke pinggang dan baju-baju gamis yang menutupi mata kaki. Untuk kalangan yang memahami agama baik sedikit atau banyak akan sangat senang melihat wanita yang seperti itu yang mencerminkan perempuan-prempuan yang menundukkan pandangan dan berpakaian syar’i. Tapi lain halnya dengan kalangan yang awam tentang agama maupun kalangan yang anti Islam mereka akan sedikit bahkan sangat memandang sebelah mata pakaian yang kebesaran itu. Bahkan mereka yang mengenakan pakaian seperti itu akan lebih sering dicap buruk. Padahal mereka tidak melakukan apa-apa. ( fenomena kedua ).

Sekarang mari kita korelasikan dari dua fenomena di atas, yang satu memiliki nilai dakwah namun tidak sesuai syar’i yang satu lagi sesuai syar’i namun tidak memiliki nilai dakwah (yang mudah diterima). Yang kita semua inginkan adalah hijab yang syar’i juga memiliki nilai dakwah. Bagi kalangan yang paham agama pasti akan membela fenomena kedua karena jalan dakwah bisa saja dipaksakan, tapi dalam kenyataan sehari-hari hal-hal seperti itu hanya akan bisa terjadi pada orang-orang yang sudah memiliki niatan untuk berubah dan hati yang terbuka ke jalan yang lebih baik. Sedangkan yang kita butuhkan adalah sebagaimana fenomena pertama yang membuat hijab terlihat lebih dinamis dan bisa diaplikasikan dimana saja.

Ada pada suatu hari teman dan saudara seperjuagan saya yang berpakaian normatif dalam artian dia menggunakan celana jeans, kaus panjang dan kerudung minimalis bukan dengan hijab yang besar dan gamis, dia ditegur dengan cara yang sangat tidak menyenangkan oleh akhwat yang berhijab besar. Teguran yang berupa tekanan psikologi dengan tatapan tajam langsung dan tepukan di pundak kemudian kalimat-kalimat yang mengingatkan tentang dosa dan pengulangan kalimat bahwasannya sudah seharusnya hijabnya diganti dengan yang lebih besar. Tapi apalah arti teguran itu dengan cara yang memaksa seperti itu? Dalam beragama saja Allah tidak memaksakan, kenapa manusia biasa seperti kita memaksa kehendak? Dakwah dengan cara seperti itu hanya akan menguatkan argumen anti Islam yang mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris dan intoleran. Bukankah kita setuju bahwa Islam adalah agama yang membawa perdamaian? Maka jangan hanya karena sedikit kesalahan kita umat muslim menjadikan Islam dipandang buruk.

Berdakwah tentang hijab tidaklah mudah wahai saudara-saudariku, tidak semua orang mau memahami dan menerima hijab yang syar’i bahkan yang sudah lulus dari sebuah pondok sekalipun ketika hatinya tidak memiliki keinginan yang kuat akan mengganti hijabnya dengan yang lebih kecil bahkan melepasnya. Tapi jangan berputus asa karenanya, Allah tidak menyukai orang yang berputus asa. Lantas bagaimana caranya? 

Ini hanya langkah kecil untuk berdakwah tentang hijab terutama bagi kita para muslimah. Pertama-tama lakukan dari diri sendiri, dengan mengenakan pakaian yang syar’i dan berbuat sebagaimana semestinya muslimah, dengan begitu saja kita sudah melakukan dakwah (berdakwah dengan akhlak) jika ada yang menghalangi yakinkan saja hati kita jika penghalang itu adalah ujian dari Allah. Kedua, jawab dengan bahasa yang mudah dipahami ketika ada yang bertanya tentang hijab, berikan perumpamaan sederhana tentang perempuan berhijab dan tidak, sabarlah jika terus ditanya dan disangkal pendapat kita ingat saja tidak semua orang mudah menerima  hijab. 

Ketiga, jangan mengusik hidup orang lain, kita memang dianjurkan saling mengingatkan dalam kebaikan namun ingatlah bahwa setiap orang memiliki hak menentukan hidupnya masing-masing jadi jangan sampai niat baik kita kemudian malah menjadi usikan bagi hidup orang lain. Keempat, kita boleh loh mengikuti mode, bukan mode mentah-mentah yang sedang trend pastinya yang sesuai dengan syar’i ya, karena Allah itu menyukai keindahan. 

Terakhir, istiqomah, setelah ikhtiar kita hanya perlu istiqomah kepada Allah karena semua yang kita lakukan semata-mata untuk Allah.
Seperti itu kira-kira tentang hijab dan nilai dakwah yang terkandung didalamnya bagi saya. Yang pasti semuanya tergantung pada individu masing-masing, tidak semua orang yang berhijab  minimum itu tidak paham agama, dan tidak semua orang yang berhijab besar sangat memahami agama. Kembali lagi pada hadits shahih ini :

عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

 Dan tidak semua yang berhijab besar bisa berperilaku layaknya muslimah yang syar’i juga sebaliknya. Pada dasarnya semua itu kembali pada hati masing-masing individunya bagaimana hatinya nyaman dan merasa berhak dan berkewajiban. Lakukan saja semuanya perlahan dan bertahap, berhijab modis dan belum syar’i tetapi konsisten lebih baik daripada tidak sama sekali bukan? Tapi sudah semestinya ditilik lagi fungsi dan hikmah dari berhijab itu sendiri karena syari’at turun tidak hanya sekedar untuk membatasi ummat. Salam Faskho! (08/12/15).

Ragil-dengan perubahan.

0 komentar:

Post a Comment