Loading...
Thursday 19 April 2018

09:04
» يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا «

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab : 70-71).

Saudaraku,
Siang itu, suasana Madinah sangat terik membakar kulit, cuaca panas ketika itu melebihi suhu panas yang ada di Lampung saat ini. Seorang lelaki datang menemui Salman al-Farisi r.a untuk berbagi curhat dan meminta nasihat. Karena ia mampu meraba kelemahan dan menyadari kekurangan dirinya. Salah satunya adalah bahwa ia sulit mengendalikan lisannya saat marah dan kerap terjatuh dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat, dan perkataan dusta.

Syekh Shalih Ahmad al-Sami menarasikan dialog keduanya dalam buku "Mawa'id al-Shahabah", berikut petikannya.

Lelaki itu berkata kepada Salman, "Berilah aku nasihat!."

"Diamlah! Dan jangan engkau berbicara sepatah katapun!." Kata Salman.

Lelaki itu berkata, "Tiada seorangpun yang hidup di tengah-tengah masyarakat, mampu menahan diri untuk berbicara dengan mereka."

Salman berkata, "Jika terpaksa engkau harus berbicara dengan mereka, maka ucapkanlah perkataan yang baik. Atau jika tidak mampu melakukannya, lebih baik engkau diam."

Lelaki itu berkata, "Tambahkan untukku nasihatmu!."

Salman berkata, "Jangan engkau marah!."

Lelaki itu berkata, "Menahan marah inilah yang terkadang membuatku terhuyung jatuh."

Salman berkata, "Jika terpaksa engkau harus marah, maka tahanlah lisan dan tanganmu!."

Lelaki itu berkata, "Tambahkanlah nasihatmu!."

Salman berkata, "Jangan engkau bergaul dengan manusia!."

Lelaki itu berkata, "Apakah ada orang yang hidup (di dunia) dan ia tidak bergaul dengan orang lain?."

Salman berkata, "Jika terpaksa engkau bergaul dengan mereka, maka jujurlah dalam pembicaraanmu dan tunaikanlah amanah!."

Saudaraku,
Salah satu kunci kesuksesan sahabat dalam meretasi hidup di dunia ini adalah sadar dengan kekurangan diri dan membuka diri dan berkonsultasi kepada orang lain yang dianggap mampu untuk memberikan solusi bagi perbaikan dan kebaikan dirinya.

Berbeda dengan kita. Yang terkadang justru menutupi kekurangan dan kelemahan diri kita. Ironinya, saat orang lain memberikan informasi perihal kekurangan kita, justru kita marah dan emosi serta menuduhnya telah merencanakan maker dan berupaya mencemarkan nama baik kita.

Pepatah mengatakan, "Lisanmu adalah harimaumu." Sangat tepat untuk menggambarkan bahwa banyak bencana dan malapetaka, baik di dunia maupun di akherat, dipicu oleh ketidakmapanan kita dalam mengelola lisan.

Salman al-Farisi r.a menyebutkan dalam nasihatnya di atas, bahwa di antara bentuk ketergelinciran lisan adalah berbicara yang sia-sia, terkalahkan amarah dan dusta dalam pembicaraan.

Saudaraku,
Berbicara benar, lurus, berfaedah, bermanfaat bagi diri pribadi dan orang lain dan yang seirama dengan itu, merupakan parameter keimanan kita. Nabi s.a.w bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berbicara yang baik atau lebih baik diam." (HR. Bukhari, no. 6018).

Perkataan yang baik mengandung tiga muatan seperti dalam surat An-Nisa ayat 114, yaitu; perkataan yang memerintahkan sedekah, berbuat ma'ruf (melakukan kewajiban dan yang disunnahkan serta meninggalkan yang diharamkan, syubhat dan yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya) dan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Diam tidak berkata-kata, merupakan pilihan terakhir jika kita tak mampu melakukan ketiga hal tersebut.

Abu Darda' r.a menyebutkan bahwa salah satu karakter dasar yang melekat pada diri  seorang yang jahil adalah; banyak berbicara yang tidak berfaedah.
Artinya, yang membedakan orang yang cerdas dengan orang yang kerdil dan pandir adalah kualitas pembicaraan dan perkataannya.

Saudaraku,
Sudah menjadi aksiomatis bahwa banyak bencana dan tsunami sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, pemicunya adalah kelemahan dan ketidakmampuan diri dalam meredam amarah yang berkecamuk di dalam jiwa.

Pertikaian, permusuhan, perceraian antar pasutri, pembunuhan karakter, amukan massa, pembakaran dan yang senada dengan itu, sering berawal dari luapan kemarahan yang berlebihan.

Orang mukmin yang mampu menguasai dirinya saat marah padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, maka ia akan mengalirkan kesejukan dan keteduhan serta kedamaian bagi dirinya dan orang-orang yang berada di sekitarnya.

Untuk itu wajar, jika Nabi s.a.w menjanjikan bidadari surga yang ia sukai bagi orang yang mampu menaklukkan amarahnya. “Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal ia mampu meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk-Nya pada hari kiamat untuk memberinya pilihan bidadari mana yang ia inginkan.” (HR. Abu Daud, no. 4777).

Saudaraku,
Dusta, merupakan karakter dasar orang yang bermental hipokrit dan zindiq yang diwariskan kepada kita. Namun, kita saksikan jas dusta ini sering dikenakan oleh politisi, pengacara, pejabat, pengusaha, pedagang, petani, pendidik, peserta didik, pengelola travel haji dan umrah, petugas Bea Cukai, dan mungkin oleh kita sendiri. Seolah-olah suatu tujuan, tidak mungkin tercapai melainkan dengan label dusta, Wal 'iyadzu billah.

Nabi s.a.w pernah mengingatkan kita, "Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia ingkar, dan apabila dipercaya dia berkhianat.” (HR. Bukhari, no. 33 dan Muslim, no. 59).

Dusta, berada di urutan pertama dari sifat munafiq sebelum ingkar janji dan mengkhianati amanah. Sebab wallahu a'lam, sifat yang kedua dan ketiga biasanya dipicu oleh sifat yang pertama, yakni; dusta.

Al-Auza'i pernah berkata, “(Karakter) orang mu’min itu sedikit bicara dan banyak beramal, sedangkan (karakter) orang munafik itu banyak bicara dan sedikit amal.”

Saudaraku,
Jaga lisan kita, jika kita ingin selamat di dunia dan sukses di akherat sana. Nabi saw pernah bersabda, "Barangsiapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (mulut) dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya." (HR. Bukhari, no. 6109).

Ya Rabbana, bantulah kami untuk selalu berkata-kata baik, meninggalkan perkataan yang sia-sia, mampu bersikap bijak di kala marah dan jujur dalam pembicaraan. Aamien. Wallahu a’lam bishawab.

Metro, 19 April 2018
Fir’adi Abu Ja’far

0 komentar:

Post a Comment