Loading...
Sunday 15 April 2018

13:43
Mengukur intelektual diri

» إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا «

“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah." (QS. An-Naba’: 40).


Saudaraku,
Apa kabar anda hari ini saudaraku?. Beberapa pekan kita tidak bersua di forum ini. Ada targetan-targetan akademik dan beragam warna kesibukan yang menjadi alasan. Alhamdulillah ‘ala kulli hal, Allah pertemukan kita saat ini dalam keadaan yang terbaik.

Orang cerdas dan berwawasan luas dalam pandangan kita, mungkin orang yang banyak menyabet gelar bergengsi, baik di bidang akademik maupun dunia karir. Atau orang yang telah sampai di puncak prestasi ilmu pengetahuan. Atau orang yang mampu menjawab berbagai persoalan yang dialamatkan kepadanya. Dan seterusnya.

Namun saudaraku, orang yang memiliki kapasitas intelektual yang luas di mata Rasulullah s.a.w tentu berbeda. "Orang intelek adalah orang yang senantiasa mengoreksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya." (HR. Tirmidzi, no. 2459).

Sedangkan orang intelek dalam kaca mata Ali bin Abi Thalib r.a adalah orang dapat membagi waktunya pada siang harinya menjadi empat aktifitas penting;

Waktu ia pergunakan untuk bermunajat kepada Rabb-nya.

Waktu ia manfaatkan untuk bermuhasabah diri.

Waktu ia luangkan untuk mendatangi ahli ilmu yang dapat membimbingnya mengenali sebagian ajaran agamanya dan mengingatkannya akan hakikat kehidupan dunia.

Waktu ia maksimalkan untuk menikmati keindahan dunia yang dihalalkan untuknya. (Mawa'izh al-shahabah, Shalih Ahmad al-Syami).


Saudaraku,
Kedekatan kita dengan Sang Pencipta, diukur dari seberapa besar kadar munajat kita dan tengadah tangan kita berdo’a kepada-Nya. Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, semakin sering kita meminta dan memohon kepada-Nya, justru Dia semakin mendekat, mengasihi dan mencintai kita. Bahkan Allah sangat murka kepada hamba-Nya yang enggan berdo'a dan meminta kepada-Nya. "Siapa yang tak meminta kepada Allah, maka Dia murka kepadanya." (HR. Tirmidzi, no. 3374).

Oleh karena itu, jika detik, menit dan waktu dari hari-hari kita sepi dan sunyi dari senandung munajat dan lantunan do'a kepada-Nya, baik itu di dalam shalat, setelahnya, dan waktu-waktu lainnya. Maka kita adalah orang yang tidak intelek, kerdil, pandir, jahil, sombong dan layak mendapat murka Allah s.w.t. Wal 'iyadzu billah.

Maka dalam keadaan dan kondisi apapaun; kaya atau miskin. Sehat atau sakit. Bahagia atau merana. Lapang atau sempit. Suka maupun duka. Sendiri atau di tengah keramaian. Kuat atau lemah. Mencari simpul pejuang atau menikmati pekan pendidikan. Dan yang senada dengan itu. Kita berupaya meningkatkan keharmonisan hubungan kita dengan-Nya lewat munajat dan do'a. Agar kita dapat merasakan perhatian-Nya, arahan-Nya, pertolongan-Nya dan kebersamaan-Nya dalam hidup kita.

Saudaraku,
Pada hakikatnya kita sedang mengadakan perniagaan dan jual beli dengan Allah s.w.t. tiada seorang pun dari kita, yang ingin rugi dalam perniagaan besar ini. Di mana laba yang Dia tawarkan kepada kita adalah surga. Dan kerugian terbesar dari perniagaan ini akibat kecerobohan, ketidak cermatan dan kurang kehati-hatian kita dalam menjalankan bisnis ukhrawi dengan-Nya. Dan puncaknya adalah mendapatkan murka dan siksa-Nya di neraka.

Untuk mengetahui untung atau rugi dagangan kita hari ini, maka biasanya kita menghitung modal berikut labanya. Jika kita tidak menghitung-hitungnya, darimana kita mengetahui untung atau rugi perniagaan kita?.

Demikian pula dengan kita selaku hamba, jika kita tak rutin bermuhasabah diri setiap hari, maka darimana kita tahu posisi kita saat ini? Apakah ada peningkatan amal atau sebaliknya ada penurunan spiritual?.

Bahkan idealnya muhasabah kita lakukan di tiga waktu. Pertama, saat akan memulai amal (niat), agar niat mengabdi kepada-Nya lurus dan tidak berbelok-belok. Kedua; muhasabah juga kita lakukan di pertengahan amal, agar kelurusan niat tetap terjaga dan ketepatan amal sesuai tuntunan Nabi s.a.w juga terpelihara. Dan ketiga; setelah beramal, kita perlu bermuhasabah, untuk mengetahui apakah amalan kita sudah tertunaikan secara sempurna, ataukah banyak kekurangan di sana sini dalam pelaksanaannya.

Termasuk dalam kerja-kerja dakwah dan mendaki puncak perjuangan kita dalam mengejar targetan-targetan dakwah, harus selalu muhasabah di awal pekerjaan, pertengahan dan setelah bekerja. Agar targetan yang dibidik, bisa terukur kesuksesannya.

Saudaraku,
Mendaki puncak gunung, membutuhkan ilmu dan bekal yang memadai. Jika tidak, maka kita tak akan sampai di puncak. Dan bahkan kita bisa terjerembab jatuh dengan kondisi tubuh yang mengenaskan.

Terlebih, saat ini kita sedang mengadakan perjalanan untuk mendaki puncak ubudiyah. Terkadang jalan yang kita lalui terjal, bercadas, licin, berliku, berdebu, berduri dan seterusnya. Tanpa persiapan yang cukup, ilmu yang memadai dan dipandu orang yang berpengalaman. Maka mustahil kita akan sampai di taman harapan.

Para ahli ilmu ibarat pemandu jalan kita menuju puncak ubudiyah. Mereka adalah inspirator kesuksesan kita dalam menyisiri hidup yang penuh dengan cobaan dan ujian. Agar semangat meraih kebahagiaan hidup di akherat sana tak pernah luntur. Dan supaya kita senantiasa sadar bahwa dunia hanya menjadi jembatan menuju ke sana.

Jika kita ingin berteduh di taman surga di dunia, maka singgahlah di majlis ilmu. Itulah taman-taman surga yang disebutkan oleh Nabi s.a.w. Jangan pernah bermimpi, kita akan menikmati keindahan taman-taman surga. Jika kita enggan singgah di taman-taman ilmu di dunia ini.

Saudaraku,
Islam adalah agama fitrah. Seluruh kebutuhan asasi kita terayomi, tiada yang dikebiri. Walau di sana ada rambu-rambu yang terang terbentang. Memenuhi kebutuhan perut dan yang di bawahnya, Islam pun telah menetapkan aturan mainnya. Ada pola untuk penyalurannya.

Menikmati makanan dan minuman yang mengundang selera kita, sah-sah saja kita lakukan. Selama kita mendapatkannya dengan cara yang sah serta makanan dan minuman tersebut tiada dilarang dalam agama. Selama tidak melampaui batas, sehingga tidak terjatuh pada sifat boros dan pembubaziran harta.

Bahkan makan dan minum kita terhitung ibadah, jika kita niatkan untuk memenuhi hak tubuh kita dan menjaga stamina yang prima agar optimal beribadah kepada Allah s.w.t.

Menyalurkan hasrat seksual, menjadi aliran sedekah bagi kita. Selama kita menyalurkannya di tempat yang halal dan bertujuan untuk menjaga kesucian diri kita dan kehormatan pasangan hidup kita.

Oleh karena itu cukup dikatagorikan sebagai insan yang bermental jahiliyah, jika kita menghalangi diri kita dari kenikmatan hidup yang Allah halalkan untuk kita.

Saudaraku,
Seperti apakah kadar intelektual kita saat ini? Sudahkah kita menjadi orang yang cerdas?. Yakni dengan menyeimbangkan keempat sarana kecerdasan yang telah disebutkan oleh menantu Nabi; Ali bin Abi Thalib r.a. Semoga kita bisa menjadi orang yang cerdas mulai hari ini. Minimal radak-radak cerdas.  Amien.

Metro, 12 April 2018
Fir’adi Abu Ja’far

0 komentar:

Post a Comment